Jumat, 19 agustus 2016
Kisah Supriyanto,
nelayan Indonesia yang tewas akibat disiksa di kapal Taiwan
Sebuah video yang diperoleh
wartawan BBC di Taiwan, Cindy Sui, memperlihatkan seorang nelayan Indonesia,
Supriyanto, mengalami luka-luka akibat dipukuli di sebuah kapal ikan Taiwan.
Video yang direkam dengan ponsel
oleh kawan Supriyanto di kapal ikan asing itu memperlihatkan kondisinya yang
menyedihkan: kepalanya bocor, matanya merah akibat berdarah, kakinnya lebam
hingga susah berjalan.
Dalam Bahasa Jawa, kawannya
berkata, “Nasibnya Supriyanto, jalan saja dia sudah tidak bisa, hanya bisa
meratapi nasib. Saya tidak bisa bantu apa-apa, hanya bisa bantu secara
spiritual… Inilah hasil dari kekerasan di kapal.”
Tak lama, Supriyanto pun tewas di
kapal.
Meski demikian, jaksa penuntut Taiwan
berkata ke BBC bahwa Supriyanto meninggal akibat infeksi lutut dan tidak ada
yang mencurigakan dalam kasus ini.
Memang industri kapal ikan Taiwan
sedang mendapat sorotan akibat pelanggaran hak asasi manusia yang belakangan
terjadi terhadap para tenaga kerjanya.
Video lain menggambarkan lima
orang yang ditembaki awak kapal Vietnam. Namun Kapten kapal terdengar berbicara
Bahasa Mandarin. Dan ada kapal lain yang terlihat di tempat kejadian
menggunakan bendera Taiwan.
‘Ingin
kumpul’
Itu merupakan pelayaran kedua
Supriyanto di kapal ikan Taiwan.
Pelayaran pertama berlangsung
selama setahun, namun tidak pernah ada keluhan dari Supriyanto. Berselang tiga
bulan, dia pun kembali berlayar.
Sebelumnya, Supriyanto bekerja
sebagai kernet bis. Dia mendaftar menjadi awak kapal lewat sebuah agen di
kotanya.
Kakaknya,
Rusmiati, berkata Supriyanto ingin merubah nasib dengan bekerja di kapal asing.
“Pengen kembali lagi sama istrinya. Pengen kumpul
gitu katanya sebelum berangkat,” kata Rusmiati.
Supriyanto meninggalkan tiga anak
yang masih kecil-kecil: Moh Dimas Aman Hakim (12 tahun); Moh Subur Makmun (10
tahun); Linda Cintia Praba (7 tahun).
Dua putranya sekarang tinggal
bersama Rusmiati. Sedang putri bungsunya tinggal bersama kakak mantan istrinya
di Indramayu.
Rusmiati sendiri memiliki tiga
anak. Dia hanya membantu suaminya yang bekerja menjual bubur ayam.
Ia berkisah tentang anak-anak
Supriyanto.
“Yang sering nangis itu yang
besar. Kalau inget bapaknya pasti nangis. Kalau yang kecil masih belum tahu.”
Dimas memang berkata masih selalu
rindu dengan bapaknya, rindu ditegur jika berbuat kesalahan. Ketika ditanyakan
cita-citanya, dia tidak mau menjadi nelayan karena menurutnya berbahaya.
Tuntutan
keluarga
Selama berlayar Supriyanto tidak
pernah menghubungi keluarga.
Pertama kali keluarganya
mendengar kabar dari Supriyanto adalah ketika petugas dari agen yang
menempatkannya memberitahukan kematian Supriyanto pada 25 Agustus 2015. Dua
hari kemudian jasadnya tiba.
Rusmiati yang juga menjadi ahli
waris Supriyanto telah mendapat santunan sebesar Rp 4 juta dari agen, asuransi
jiwa sebesar Rp 41 juta dan gaji enam bulan Supriyanto sebesar Rp 19 juta.
Gaji awak kapal bekisar $250 (Rp
3 juta) per bulan, biasanya ditahan selama setahun, kemudian dibayarkan setelah
masa pelayaran berakhir setelah dikurangi biaya agen.
Namun sebetulnya, berdasarkan
asuransi pekerja Taiwan, asuransi yang diterima keluarganya seharusnya lebih
dari tiga kali lipat yang mereka terima.
Betapa pun bukan kompensasi benar
yang diinginkan keluarga Supriyanto.
Setiawan, adik sepupu Supriyanto, berkata
mereka menuntut pelaku penganiayaan diadili.
“Kakak
kami kan mungkin meninggalnya secara tidak wajar. Kami ini orang yang tidak
mampu, tidak mengerti prosedur hukum. Saya mau yah orang
namanya bertindak kesalahan yah ditindak hukum seadil-adilnya”, kata
Setiawan.
Perbudakan
manusia
Menurut Kepala Federasi Nelayan
Indonesia, John Albert, kasus seperti Supriyanto kerap terjadi, namun baru kali
ini ditermukan bukti.
“Telah terjadi perbudakan
manusia. Banyak nelayan-nelayan yang dibuang ke laut oleh kapten. Untung
Supriyanto ketahuan. Saya banyak dapat informasi bahwa mayat ini dibuang ke
laut tapi tidak ada bukti”, kata John Albert.
Namun, beberapa agen penyalur yang didatangi
tim BBC Indonesia di Pemalang, Jawa Tengah, selalu penuh dengan calon pekerja.
Mereka lebih baik menempuh resiko
di negeri asing ketimbang tidak melakukan apa-apa di kampung halaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar